SURATDOKTER.com – Populasi Jepang kini kian menyusut. Untuk pertama kalinya sejak satu abad yang lalu, populasi negara itu turun lebih dari 300.000 orang. Setelah lebih dari 40 tahun, Jepang mengalamain tingkat kelahiran yang sangat rendah.
Bahkan Jepang kini menjadi negara dengan salah satu populasi paling sedikit di dunia.
Tingkat kelahiran rendah yang berkelanjutan membuat hanya ada sedikit anak dalam populasi Jepang saat ini dan akhirnya hanya akan ada sedikit orang dewasa yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Alasan Para Generasi Muda di Jepang Memilih Tak Punya Anak
Salah satu alasannya tampaknya adalah prospek pekerjaan yang tidak pasti bagi laki-laki muda.
Ketidakpastian pekerjaan yang menjadikan dalam benak mereka calon suami yang buruk untuk menikah.
Adanya perbedaan gender yang kuat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak juga membuat “paket pernikahan” tidak menarik bagi wanita Jepang.
Selama bertahun-tahun, pemerintah Jepang telah memperkenalkan dan memperluas beberapa program untuk mendorong pemuda Jepang menikah dan memiliki anak, termasuk cuti orang tua, bantuan keuangan kepada orang tua, dan pengasuhan anak bersubsidi tinggi.
Namun sejauh ini, program-program tersebut tampaknya hanya berdampak kecil.
Sejarah Panjang Penurunan Kesuburan
Dari tak lama setelah Perang Dunia II hingga akhir 1950-an, Jepang mengalami penurunan kesuburan yang tajam.
Dalam waktu lebih dari satu dekade, tingkat kelahiran turun lebih dari setengahnya, dari tingkat kesuburan total (TFR) sebesar 4,5 anak per wanita pada tahun 1947 menjadi 2,0 pada tahun 1957.
Kesuburan pada tingkat “penggantian” ini menyebabkan struktur dan ukuran populasi yang stabil.
Namun kemudian pada pertengahan 1970-an, jumlah anak di Jepang mulai menurun lebih jauh. Sejak tahun 2000, TFR Jepang berfluktuasi antara 1,3 dan 1,4 anak per wanita.
Kelahiran serendah ini telah menyebabkan penurunan populasi yang ekstrim.
Pada tahun 2015, 27 persen penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, dan proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2060 sekitar 40 persen penduduk Jepang akan berusia lanjut.
Jepang juga merupakan negara besar pertama di dunia yang populasinya mengecil.
Dan proyeksi menunjukkan bahwa populasi Jepang akan terus menurun selama beberapa dekade mendatang—dari 128 juta pada tahun 2010 menjadi sekitar 87 juta pada tahun 2060.
Penurunan Populasi
Penurunan populasi pada skala ini menimbulkan tantangan serius bagi ekonomi Jepang dan kesejahteraan rakyat Jepang.
Selama periode penurunan kesuburan pertama di Jepang, sebagian besar pria dan wanita muda masih menikah, tetapi mereka memiliki lebih sedikit anak dalam pernikahan.
Sebaliknya, penurunan fertilitas yang dimulai pada tahun 1970-an dibarengi dengan penurunan angka pernikahan yang tajam.
Pada tahun 2010, 11 persen wanita dan 20 persen pria berusia 50 tahun belum pernah menikah, dan tren tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbalik.
Karena melahirkan anak di luar pernikahan jarang terjadi di Jepang, maka angka pernikahan yang rendah ini berarti banyak pria dan wanita Jepang tidak akan pernah memiliki anak.
Namun sistem pendukung Jepang dirancang dengan keluarga sebagai jaring pengaman utama, terutama untuk perawatan dan dukungan orang tua.
Mengingat kerangka kerja ini, peningkatan pesat jumlah pria dan wanita lajang—yang akan menjadi tua tanpa anak atau cucu—memiliki implikasi mendalam bagi status ekonomi dan kesejahteraan penduduk Jepang di tahun-tahun mendatang.
Dan masalah ini tidak terbatas di Jepang.
Meskipun Jepang adalah negara pertama di Asia yang mengalami penurunan fertilitas yang begitu tajam dan berkepanjangan.
Bahkan saat ini fertilitas telah turun ke tingkat yang sama atau bahkan sedikit lebih rendah di ekonomi maju lainnya di kawasan ini.
Mengapa Tingkat Kelahiran di Jepang Sangat Rendah
1. Faktor Penurunan Populasi
Di Jepang, keengganan untuk menikah atau memiliki anak kemungkinan besar muncul, setidaknya sebagian, dari menyusutnya kesempatan kerja bagi laki-laki muda.
Pada tahun 1960, 97 persen pria usia 25-29 bekerja, namun pada tahun 2010 jumlah ini turun menjadi 86 persen.
Selama periode yang sama, tingkat pekerjaan perempuan muda meningkat secara dramatis dari 50 persen pada tahun 1960 menjadi 72 persen pada tahun 2010.
Yang lebih penting daripada tingkat pekerjaan secara keseluruhan, sebagian besar pria muda yang bekerja saat ini memiliki pekerjaan sementara, kemungkinan besar memengaruhi prospek pernikahan mereka.
Dan jika kesempatan kerja laki-laki yang terbatas dan tidak pasti membuat mereka menjadi kandidat yang buruk untuk menikah.
Dengan faktor diatas maka kesuburan Jepang kemungkinan besar akan tetap sangat rendah untuk beberapa waktu mendatang.
2. Faktor Pekerjaan
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi tingkat pernikahan adalah bertahannya pembagian kerja berdasarkan gender tradisional.
Hal ini yang menempatkan kewajiban berat pada perempuan untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak.
Pada tahun 2009, para istri di Jepang pada usia subur akan menghabiskan rata-rata 27 jam per minggu untuk tugas-tugas rumah tangga (tidak termasuk mengasuh anak).
Sedangkan di sisi lain suami menghabiskan rata-rata 3 jam per minggu.
Bahkan wanita yang bekerja penuh waktu menghabiskan lebih dari 20 jam per minggu untuk pekerjaan rumah tangga dan intensif dalam mengasuh anak.
Kewajiban kerja bagi perempuan jepang yang rata-rata tidak pernah melebihi 5,3 jam per minggu.
Sebagian besar tanggung jawab ibu adalah mengurus kebutuhan sehari-hari anak-anak.
Selain juga memastikan bahwa anak-anak mereka berhasil dalam sistem pendidikan yang sangat kompetitif.
Wanita di seluruh dunia menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah dan mengasuh anak daripada pria, tetapi perbedaan di Jepang sangat ekstrem.
Tanggapan Pemerintah Jepang
Selain memperbaiki hubungan gender di rumah, pilihan yang paling menjanjikan untuk membalikkan tren penurunan perkawinan dan melahirkan anak adalah melalui program pemerintah.
Salah satu programnya membantu pasangan menyeimbangkan pekerjaan dan kewajiban rumah tangga mereka.
Sejak saat itu, pemerintah Jepang berulang kali memulai dan memperluas kebijakan dan program keluarga. Dukungan untuk keluarga muda ditawarkan terutama dalam tiga bidang:
(1) bantuan keuangan dalam bentuk tunjangan anak yang dibayarkan langsung kepada orang tua;
(2) ketentuan cuti melahirkan yang terus diperluas; dan
(3) layanan penitipan anak bersubsidi.
Kesuburan Tetap Rendah
Terlepas dari program pemerintah ini, kebijakan keluarga Jepang tampaknya sebagian besar tidak efektif.
Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan memiliki pengalaman serupa. Ketiga negara tersebut menawarkan cuti melahirkan berbayar dan pengasuhan anak bersubsidi, dan Singapura – seperti Jepang – menawarkan pembayaran tunai kepada keluarga yang memiliki anak. Namun kesuburan tetap rendah.
Pertumbuhan ekonomi yang lamban di Jepang membuat sulit untuk memperluas program dukungan keluarga, tapi tetap saja, pemerintah mungkin bisa berbuat lebih baik. ***
Baca Juga:
- Heatstroke Saat Berenang, Bahaya Paparan Panas saat Suhu Ekstrem di Jepang
- Ternyata Inilah Rahasia Perawatan Kulit ala Wanita Jepang
- Peneliti Jepang Mengembangkan Bayi Laboratorium untuk Mengatasi Infertilitas dan Cacat Lahir…
Penulis: Rey Manurung
Editor: Niqi Carrera
Referensi :
- https://www.firstpost.com/world/heres-why-40-of-japanese-women-may-never-become-mother-child-children-12977412.html
- https://www.theatlantic.com/business/archive/2017/07/japan-mystery-low-birth-rate/534291/
- https://www.eastwestcenter.org/publications/low-fertility-in-japan%E2%80%94no-end-in-sight