Suratdokter.com – Pada Hari Selasa, tanggal 11 Juli 2023, suatu peristiwa bersejarah terjadi di Tanah Air. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan ini akhirnya secara resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Melalui Rapat Paripurna DPR ke-29 yang dilaksanakan pada hari itu, suasana tegang dan penuh harap mewarnai ruang sidang yang dipenuhi oleh 105 orang anggota DPR RI.
“Seluruh hak-hak tenaga kesehatan (Nakes) tidak akan hilang dalam UU Kesehatan yang telah disahkan tersebut,” tegas Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Meskipun demikian, setelah pengesahan UU Kesehatan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian tenaga kesehatan (Nakes) yang menolak keputusan tersebut. Lantas seperti apa isi UU tersebut sehingga sampai menimbulkan penolakan? Simak informasi selengkapnya berikut ini :
Melansir dari situs Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI, Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Mohammad Syahril, memberikan penjelasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disahkan. Dr. Syahril menyatakan bahwa melalui RUU Kesehatan ini, pemerintah berupaya memberikan tambahan perlindungan hukum bagi dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut dr. Syahril, pasal-pasal perlindungan hukum dalam RUU Kesehatan ditujukan untuk menghindarkan tenaga kesehatan dari langsung terlibat dalam proses hukum oleh aparat penegak hukum. Sebaliknya, dalam situasi sengketa hukum, diupayakan terlebih dahulu penyelesaian di luar pengadilan, seperti melalui sidang etik dan disiplin. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi tenaga kesehatan dalam mencari solusi yang lebih bersifat rekonsiliasi dan etis.
Baca juga: Tips Menulis Artikel di Surat Dokter: Minim Revisi dan Segera Dipublish
Terlebih lagi, RUU Kesehatan juga mengusulkan beberapa pasal baru tentang perlindungan hukum. Beberapa di antaranya adalah perlindungan hukum bagi peserta didik dalam bidang kesehatan, hak untuk menghentikan pelayanan jika mengalami tindak kekerasan, serta perlindungan hukum yang khusus diberikan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti saat terjadi wabah.
Selain itu, RUU Kesehatan juga memberikan dorongan bagi pengembangan pendidikan dokter spesialis. Dr. Syahril menjelaskan bahwa pendidikan dokter spesialis akan dilakukan berbasis rumah sakit di bawah pengawasan kolegium dan Kementerian Kesehatan. Peserta didik yang mengikuti pendidikan berbasis rumah sakit tidak akan dikenakan biaya pendidikan karena mereka dianggap sebagai dokter magang. Bahkan, mereka dapat memperoleh pendapatan selama menjalani pendidikan tersebut.
Dalam upaya peningkatan pendidikan spesialis, RUU Kesehatan juga memperkenalkan program proctorship. Melalui program ini, para pengajar akan datang ke daerah untuk memberikan pendidikan di rumah sakit setempat, sehingga dokter peserta didik tidak perlu pergi ke pusat pendidikan untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini diharapkan dapat mempermudah akses pendidikan spesialis bagi dokter di berbagai daerah di Indonesia.